Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus

Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus: Sosok Bersahaja yang Penuh Karya

www.majalah-alkisah.comWaktunya dihabiskan untuk mengajar dan terus berkarya, menulis kitab-kitab yang memiliki kontribusi besar bagi umat, khususnya bagi para penuntut ilmu.
Bila membaca setiap kitab dari kitab-kitab berikut ini di samping jadwal mengajar yang sangat padat dengan berbagai kitab-kitab umdah (pegangan) yang dibacanya, siapa pun tidak akan meragu­kan kedalaman ilmu sosok yang menjadi figur kita kali ini, Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus.
Dalam kajian hadits, ia telah menga­rang kitab Laftul Intibahat fiima Hadzara al-‘Ulama min at-Ta’lifat, Tuhfat al-Akhyar fi takhrij ma fi an-Nashaih min al-Akhbar, Faidh al-‘Alam fi Syarh Arba’in Haditsan fi as-Salam, Syarh at-Targhib wa at-Tarhib (dua juz).
Dalam kajian fiqih, ia telah mengarang Asy-Syafiyah fi Isthilahat al-Fuqaha asy-Syafi’iyyah (dua juz), Is’af al-Muhtaj fi Syarh al-Qilat al-Murajjahah fi al-Minhaj, Irsyad al-Hair ila Ad‘iyah wa Adab al-Hajj wa al-Musafir wa az-Zair.
Dalam tasawuf, karyanya antara lain al-Mawahib al-Jaliyyah fi Mukatabat Ahl Maqamat al-‘Aliyyah, an-Nashr al-Faih fi Tartib al-Fawatih.
Dalam tsaqafah Islamiyyah (kebuda­ya­an Islam), karyanya antara lain al-Faidh al-‘Ilmiyyah wa al-Fukahat al-Adabiyyah, I’lam al-Bararah bi Mabadi’ al-‘Asyarah, Fakk al-Mughlaqat fi Bayan al-Muradat min Alqab wa Asma’ al-Kutub al-Muthlaqat.
Dalam tarikh dan sirah, karyanya antara lain Minhat al-Ilah al-Ghani fi Ba’dh Manaqib al-Imam ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani, Lawami’ an-Nur as-Sani fi Tarjamah Syaikhina Al-Imam Muham­mad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Ghayat al-Amani fi Ba’dh Manaqib Al-Habib Al-Imam As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani.
Untuk sastra, di antara karyanya ada­­lah al-Lughat al-Arabiyyah Lughat Al-Qur’an, al-Injaz fi Amtsalat Ahl Hijaz, Nail al-’Arab bi Muqaddimat Khuhthab.

Kitab Asy-Syafiyah
Mari kita ambil satu dari sekian kitab karyanya untuk sedikit melihat bagai­mana kejelian dan ketelitian pengarang­nya dalam menyusun karya-karyanya.
Di antara kitab karyanya yang ter­masyhur dan sudah tercetak serta ter­sebar luas di kalangan ahli ilmu adalah kitab Asy-Syafiyah fi Isthilahat al-Fuqaha asy-Syafi’iyyah.
Dalam pengantar kitab ini, penulis menjelaskan, penulisan kitab ini berawal dari isyarat yang diberikan oleh salah satu guru besarnya, yakni Al-Allamah Abuya Muhammad bin Alawi Al-Maliki, agar ia mengumpulkan sebagian istilah yang termasyhur di kalangan fuqaha Syafi‘iyyah dalam ibarat-ibarat mereka yang ternukilkan di berbagai kitab.
Kitab ini dibagi menjadi lima belas bab. Bab kelima belas menjelaskan kai­dah pemberian gelar yang berlaku di ka­langan ulama: Jamaluddin adalah ge­lar untuk setiap yang bernama Muham­mad, Syihabuddin adalah gelar untuk se­tiap yang bernama Ahmad, Fakhruddin ada­lah gelar untuk setiap yang bernama Abu Bakar, Syuja‘uddin adalah gelar un­tuk setiap yang bernama Umar, Nurud­din adalah gelar untuk setiap yang ber­nama Ali, Wajihuddin adalah gelar untuk se­tiap yang bernama Abdurrahman, Muh­yiddin adalah gelar untuk setiap yang bernama Abdul Qadir, Afifuddin adalah gelar untuk setiap yang bernama Abdullah.
Dalam memberikan penjelasan ten­tang tingkatan ulama dan hukum taklid kita kepada mereka, sebagaimana di­jelaskan pada bab keempat belas dalam kitab Asy-Syafiyah itu, penulis membagi­nya menjadi enam tingkatan.
Pertama, tingkatan mujtahid mustaqil atau mujtahid muthlaq (mujtahid mutlak). Ini merupakan tingkatan tertinggi ulama mujtahid.
Kedua, tingkatan mujtahid muthlaq mun­tasib (mujtahid mutlak yang bernis­bah kepada seorang mujtahid mutlak ter­tentu) atau mujtahid madzhab.
Ketiga, tingkatan ash-hab al-wujuh (para ulama mujtahid yang menguraikan pendapat-pendapat dari mujtahid mutlak dalam satu madzhab).
Keempat, tingkatan mujtahid fatwa (ulama mujtahid yang memilih dan me­milah di antara pendapat-pendapat madz­hab yang kuat dari yang lemah dalam madzhab).
Kelima, tingkatan nuzhzhar fi tarjih makhtalaf fih syaikhani (para ulama yang memberikan komentar dan penilaian da­lam memberikan tarjih terhadap penda­pat-pendapat yang bertentangan pada­nya dua syaikh, yakni Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syairazi dan Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Mura Al-Hazami Al-Hawrani An-Nawawi).
Keenam, tingkatan para hamalah fiqh (para ulama fiqih di luar kelima ting­katan di atas).
Dalam hal taqlid, untuk tingkatan pertama sampai ke­pada tingkatan yang keempat, penulis menjelaskan bolehnya bertaqlid kepada mereka. Sedang untuk dua tingkatan ter­akhir, penulis mem­berikan penjelasan adanya ijma‘ fi‘li (ijma‘ dalam perbuatan) di kalangan ulama dari zaman mereka hingga saat ini untuk mengambil penda­pat dan tarjih dari mereka dari apa yang me­reka nukilkan dan termasyhur dalam ki­tab-kitab mereka.
Kuat Hafalannya dalam Hadits
Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Alaydrus lahir di kota Malang, 18 Juni 1957. Sejak kecil ia sudah berada di te­ngah lingkungan yang taat beragama. Pendidikan Habib Sholeh terasah sejak ia masuk Madrasah Ibtidaiyah At-Taroq­qie, Malang, yang pada saat itu diasuh dan dikelola oleh pamandanya sendiri, Habib Alwi bin Salim Alaydrus (lihat Manaqib).
Ayahandanya, Habib Ahmad Al­aydrus, adalah salah seorang ulama ter­kemuka di kota Malang yang betul-betul mencintai pendidikan. Lebih dari 30 ta­hun hidupnya disumbangkan untuk Madrasah At-Taroqqie. Selain cinta pen­didikan, Habib Ahmad juga dalam ke­hidupan sehari-hari sangat sederhana dan tawadhu‘. Ia adalah orang yang sangat wara’ dan hanya mau makan dari hasil jerih payahnya sendiri.
Selain itu, pamandanya, Habib Alwi bin Salim Alaydrus, yang akrab dipanggil “Ustadz Alwi” di kalangan masyarakat kota Malang, juga adalah sosok ulama besar kebanggaan Kota Apel tersebut.
Semasa hidup keduanya, bagi ma­sya­­rakat kota dan Kabupaten Malang dan sekitarnya, sosok ayahanda dan pa­man­da Habib Sholeh sangat berpenga­ruh. Karena kealimannya, kedua tokoh ulama kharismatis ini pun amat disegani. Tidak hanya oleh kalangan habaib, kiai, ustadz, dan tokoh masyarakat, tapi juga oleh para pejabat. Karenanya, keduanya pun di­jadikan panutan dalam menen­tukan sua­tu hukum Islam yang berkem­bang saat itu.
Selepas lulus dari madrasah, Habib Sholeh melanjutkan ke jenjang pendi­dikan Tsanawiyah di PP Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Selama di Darul Hadits, ia sangat bersungguh-sungguh mempelajari dasar-dasar ilmu hadits secara langsung kepada Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih.
Habib Sholeh sangat mengagumi dan mengidolakan sang guru, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih, yang di kemudian hari menjadi mertuanya. Di antara keistimewaan Habib Abdullah Bilfaqih dalam keilmuan yang melekat kuat dalam benak Habib Sholeh adalah sangat kuatnya hafalannya dalam ha­dits. “Habib Abdullah hafal ribuan hadits serta sanad-sanadnya dan juga nama-nama kitab, sekaligus halamannya,” kata Habib Sholeh menuturkan.
Isyarah Habib Sholeh Tanggul
Selepas dari Darul Hadits, sekitar ta­hun 1977, Habib Sholeh mendapat ta­war­an beasiswa dari Yordania dan Libya. Namun ia tidak menerima tawaran bea­siswa itu. Ia justru memutuskan ber­angkat ke Makkah Al-Mukarramah untuk berguru dan belajar kepada Abuya Say­yid Muham­mad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani.
Ihwal dipilihnya Makkah tidak terle­pas dari isyarah dari Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid Tanggul. Suatu ketika Habib Sholeh Tanggul berkata kepada­nya, “Tuntutlah ilmu ke habibmu di Madi­nah Al-Munawarrah.” Yang dimaksud Ha­bib di sini adalah enjid akbarnya, Ra­sulullah SAW.
Sehari setelah mendapat isyarah dari Habib Sholeh Tanggul itu, paman Habib Sholeh, Habib Alwi, mengabarkan bah­wa dirinya sudah ditunggu oleh Abuya Al-Maliki di Makkah. Maka akhirnya berang­katlah Habib Sholeh meninggalkan Indo­nesia untuk berguru kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.
Begitu sampai di Makkah, Habib Sho­leh sangat senang, karena bisa ber­temu Abuya Al-Maliki, salah seorang ula­ma besar terkemuka Ahlussunnah yang sangat dihormati.
Saat bertemu gurunya itu, Abuya Al-Maliki berkata kepada Habib Sholeh, “Aku melihat pada dirimu ada pancaran cahaya ilmu.”
Selama mengaji di Ribath Abuya Al-Maliki, Habib Sholeh sangat menyenangi pelajaran hadits. Terutama kitab Shahih Al-Bukhari. Di dalam tradisi Ribath Maliki, kitab Bukhari dan Muslim, bila diajarkan, selalu diulang, dan pengulangannya seca­ra mendetail. Selain kedua kitab hadits uta­ma itu, ia juga mempelajari kitab ummaha­tus sitt (induk kitab hadits yang enam), yakni Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi.
Belajar di Ribath Al-Maliki sering di­lakukan di Masjidil Haram. Semua murid Abuya duduk di Masjidil Haram selama dua sampai tiga jam. Kala itu ada bebe­rapa santri yang mengeluh beser, hingga akhirnya beberapa santri memberanikan diri bertanya kepada Abuya. “Abuya, ba­gaimana kami yang beser ini?”
Mendengar pertanyaan santri-santri­nya, Abuya berkata, “Wahai anak-anak­ku, air Zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja. Sekarang minumlah air Zam­zam sambil berdoa agar tidak beser selama di Masjidil Haram.”
Benarlah apa yang diucapkan oleh Abuya. Tidak ada lagi santri yang beser selama di Masjidil Haram padahal tiap 15 menit mereka minum air Zamzam itu.
Sepuluh Tahun di Ribath Abuya Al-Maliki
Selama di Makkah, Habib Sholeh me­nuntut ilmu bersama santri-santri lain dari Indonesia dan negara lainnya. Di an­tara santri yang berasal dari Indonesia saat itu adalah Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Haddad (Al-Hawi Jakarta), Habib Ahmad bin Husein Assegaf (Bangil), Habib Muhammad bin Idrus Al-Hadad dan Habib Muhammad bin Hu­sein Alatas (cucu Ha­bib Ali bin Husein Bu­ngur), Habib Muham­mad bin Ali Al-Habsyi (Probolinggo), K.H. Thoefur Ara­fat (Purworejo), K.H. Jauhari (Mage­lang), K.H. Ali Karar (Madura), K.H. Ab­dul Muiz (Bondowoso).
Karena tinggal di kediaman Abuya Al-Maliki cukup lama, Habib Sholeh pa­ham betul kepribadian agung Abuya Al-Maliki. Bagi Habib Sholeh, Abuya Al-Maliki adalah guru yang sangat arif. Mes­kipun Abuya Al-Maliki sendiri bermadz­hab Maliki, di ribathnya juga diajarkan fiqih Syafi‘i melalui guru-guru besar yang di­tunjuk oleh Abuya sendiri dan Abuya pun sangat memahami Madzhab Syafi’i. Abuya sangat toleran dengan perbedaan.
Selain itu, bila ada murid yang baru da­tang ke Makkah, Abuya Al-Maliki pasti mengajaknya ke makam Rasulullah SAW di Masjid An-Nabawi. Mereka juga diajak ke Uhud, sekaligus ditunjukkan tempat-tempat Nabi SAW duduk dan berdiri. De­ngan metode tersebut, murid-murid, selain diajari ilmu, kepada mereka juga ditanam­kan mahabbah kepada beliau SAW.
Selama lima tahun dalam gembleng­an Abuya Al-Maliki, Habib Sholeh sudah mengkhatamkan kurang lebih 100 kitab.
Rupanya lima tahun belajar kepada Abuya Al-Maliki masih dianggap kurang. Akhirnya Habib Sholeh menambah lagi masa belajarnya meski beberapa saha­batnya ada yang sudah kembali ke tanah air untuk berdakwah.
Setelah menempuh pendidikan di Ri­bath Abuya Al-Maliki selama sepuluh ta­hun, barulah Habib Sholeh pulang ke Indonesia. Tepatnya tahun 1988. Kemu­dian ia menikah dengan putri Habib Ab­dullah bin Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Sholeh pun lalu mengabdikan dirinya un­tuk mengajar di PP Darul Hadits Al-Faqi­hiyyah, almamaternya dan juga keluar­ganya saat ini.
Kepada murid-muridnya, Abuya ber­pesan, “Kuunuu waratsatan nabi shal­lahhu ‘alaihi wasallam (Jadilah kalian para pewaris Nabi SAW).” Pesan inilah yang senantiasa dipegang oleh Habib Sholeh dalam menjalankan aktivitas dakwahnya.
Saat ini, selain menjadi pengajar di Pondok Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga membuka majelis ta’lim di rumah­nya, Jln. Bareng Kartini Gg. 1 No. 2, Ma­lang. Majelis itu diberi nama “Majelis Ta`lim wad Dakwah lil Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus”.
Sejak menginjakkan kembali kakinya di tanah air dan hingga saat ini, seluruh aktivitas Habib Sholeh sepenuhnya di­curahkan untuk umat. Waktunya dihabis­kan untuk mengajar dan terus berkarya menulis kitab-kitab yang memiliki kontri­busi besar bagi umat, khususnya bagi para penuntut ilmu. Dan pada bulan-bu­lan tertentu, ia juga menyempatkan diri un­tuk berdakwah di berbagai daerah, baik di Nusantara maupun di luar negeri, se­perti Malaysia, Singapura, Brunai Darus­salam.

2 comments on “Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus

Tinggalkan komentar