Selamat Jalan Ya Habibana

Ahad 15 September 2013 jam 08.00 Wib kami melakukan perjalanan Ziarah ke Demak, Kudus, Pati dan Lasem. Tepat Perjalanan Kudus- Lasem entah mengapa saya teringat dengan bacaan muqodimah yang dibaca Al Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha memuliakan hamba-hambaNya dengan anugerah dan kenikmatan, dan terpendam di dasar kenikmatan itu kenikmatan yang teragung yaitu Mahabbatullah (cinta Allah), darimana kita akan mendapatkannya? yaitu dari sang pembawa cintaNya sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang datang dengan membawa ajaran-ajaran yang dicintai Allah. Setelah kami shalat Magrib dan Shalat Isya’ dengan jamak taqdim kemudian ziarah ke makam KH Ali Ma’shoem Lasem yang makamnya berada di sebelah utara Masjid Jami’ Lasem setelah tahlil saya lihat ada sms masuk jam 18.56 menanyakan apakah benah bahwa Habib Mundzir meninggal dunia ? saya langsung membuka website majelis Rasulullahtapi tidak bisa dibuka akhirnya saya buka FB kebetulan ada halaman majelis Ar Raudhah ternya benar, seketika itu hati saya merasa sedih, perjalanan pulang saya berpikir apa ini firasat yang diberikan Allah SWT kepada saya ? WAFATNYA ULAMA BENCANA BAGI ALAM SEMESTA Dalam kitab Tanqih al-Qaul, al-Imam al-Hafidz Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abubakar as-Suyuthi menuliskan dalam kitabnya sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw. bersabda: وقال عليه الصلاة والسلام: {مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات “Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik.” Menangislah, karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara yang besar di sisi Allah. Sebuah perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah, jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama. عن ابن عباس ، في قوله تعالى : أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا سورة الرعد آية 41 قال : موت علمائها . وللبيهقي من حديث معروف بن خربوذ ، عن أبي جعفر ، أنه قال : موت عالم أحب إلى إبليس من موت سبعين عابدا . Ibnu Abbas Ra. berkata tentang firman Allah: “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. ar-Ra’d ayat 41). Beliau mengatakan tentang (مِنْ أَطْرَافِهَا = dari tepi-tepinya) adalah wafatnya para ulama.” Dan menurut Imam Baihaqi dari hadits Ma’ruf bin Kharbudz dari Abu Ja’far Ra. berkata: “Kematian ulama lebih dicintai Iblis daripada kematian 70 orang ahli Ibadah.” Al-Quran secara implisit mengisyaratkan wafatnya ulama sebagai sebuah penyebab kehancuran dunia, yaitu firman Allah Swt. yang berbunyi: أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. ar-Ra’d ayat 41). Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama. (Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 472). Rasulullah Saw. yang menegaskan ulama sebagai penerusnya, juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah. Rasulullah Saw. bersabda: مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama.” (HR. ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda). Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.: خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ “Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi.” Sahabat bertanya: “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah Saw. menjawab: “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama).” (HR. ad-Darimi, ath-Thabarani no. 7831 dari Abu Umamah). Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat menyesatkan umat, sebagaimana dalam hadits sahih: إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambaNya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100). Kendatipun telah banyak kyai atau ulama yang telah wafat, dan wafatnya kyai atau ulama adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Aamiin Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra.: إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.” (Ihya ‘Ulumiddin juz 1 halaman 15). Wallahu a’lam bi ash-Shawab. KUTITIPKAN PERJUANGAN DAKWAH SANG NABI SAW. PADA KALIAN Salah satu wasiat Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa: “Jika aku wafat mendahului kalian, kutitipkan perjuangan dakwah sang Nabi Saw. pada kalian, kita akan abadi bersama dalam kebahagiaan kelak insya Allah tanpa ada perpisahan.” “Habib Ismail Fajrie Alattas Berkisah Tentang Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa” Saya mengenal Habib Mundzir kira-kira akhir tahun 1998. Waktu itu beliau baru kembali ke tanah air setelah beberapa tahun mondok di Hadhramaut. Kala itu, kalangan habaib dan kyai di Jawa tercengang dengan kembalinya kurang lebih 40 anak Indonesia yang baru kembali dari Hadhramaut. Ke 40 pemuda tersebut adalah murid dari Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama muda (kelahiran 1962) yang namanya tengah melejit. Habib Umar pertamakali dikenal di Indonesia tahun 1993, ketika beliau datang ke Jawa atas undangan Habib Anis al-Habsyi Solo. Pada kunjungan tersebut, banyak habaib dan kyai yang mengagumi ilmu dan kemampuan retorika Habib Umar. Akhirnya setelah kurang lebih sebulan di Indonesia, Habib Umar kembali ke Hadhramaut membawa 40 murid, salah satunya Habib Mundzir. Kala itu, keadaan di Hadhramaut serba kekurangan. Yaman Selatan baru bersatu dengan Yaman Utara. Banyak masyarakat yang berharap. Setelah lebih dari 2 dekade di bawah rezim komunis, Yaman Selatan akhirnya kembali mencicipi kebebasan. Madrasah-madrasah yang dahulu ditutup paksa oleh rezim komunis kini terbuka kembali. Di bawah rezim komunis, banyak ulama yang dibunuh dan diculik, salah satunya ayah Habib Umar, Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz. Setelah bersatunya Yaman, ulama-ulama yang dahulu terusir dari tanah airnya, kini kembali menyemarakkan majelis-majelis ilmiah di Hadhramaut. Para pemuda, seperti Habib Umar yang memiliki kegelisahan, akhirnya mampu mengekspresikan ilmu dan keberagamaan mereka secara bebas. Mereka ingin mengembalikan kembali semangat keagamaan yang damai, toleran, berbasis Ahlussunnah wal Jama’ah dan tasawwuf ke Hadhramaut. Di saat yang sama, mereka menghadapi kaum Salafi-Wahabi yang kala itu digunakan oleh pemerintahan Yaman Utara untuk merongrong Yaman Selatan. Jadi, bagi para ulama termasuk Habib Umar, tantangannya adalah bagaimana membangun kembali kehidupan beragama yang damai. Bagaimana menjaga paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di tengah rongrongan Salafi-Wahabi dan sisa-sisa paham komunisme di Yaman Selatan. Maka dalam konteks yang demikian, dibukalah kembali institusi-institusi pendidikan tradisional, seperti Rubath Tarim yang telah sekian lama ditutup. Itulah konteks Hadhramaut ketika Habib Umar kembali membawa 40 pemuda Indonesia. Sebagai seorang yang belum dikenal, Habib Umar tidak memiliki madrasah atau pesantren. Ia harus mendidik 40 anak tersebut sendiri. Maka disewalah rumah tempat tinggal 40 anak tersebut. Setiap hari Habib Umar megajarkan mereka ilmu dan amalan pembersihan hati. Tak ada institusi formal, tak ada asisten dosen, tak ada kemewahan. 40 anak tersebut ditempa dan diasuh langsung oleh Habib Umar. Semangat keberagamaan gegap gempita di atas tumpukan sejarah masa kelam rezim komunis. Semangat keberagamaan menguat, untuk menghadapi golongan Salafi-Wahabi eks-Afghanistan yang ditopang oleh pemerintah Yaman Utara. Maka beruntunglah 40 pemuda tersebut, diasuh dan dididik dengan penuh semangat dan optimisme akan hari depan yang lebih cerah. Belum genap setahun 40 anak Indonesia di Hadhramaut, pecahlah perang saudara antara Yaman Selatan dan Utara. Habib Umar merasa bertanggung jawab untuk melindungi ke-40 anak yang telah dititipkan kepadanya oleh orang tua mereka. Keadaan sangat buruk. Listrik mati. Tak ada makanan. Ke-40 anak tersebut terpaksa makan roti dengan lauk sambal. Hidup dalam kancah peperangan sangat sulit. Namun di tengah kesengsaraan, sang guru tetap mengajarkan mereka pilar-pilar Aswaja. Membersihkan jiwa mereka dengan segenap dzikir. Sampai akhirnya perang berakhir dan kembai ke Indonesia pada tahun 1998. 40 anak Indonesia tersebutlah yang menjadi embrio terbentuknya pesantren Darul Musthafa yang hingga kini diasuh Habib Umar. Sekarang, pesantren Darul Musthafa menjadi salah satu tujuan favorit para penuntut ilmu dari seluruh dunia, termasuk AS dan Inggris. Tak ada yang menyangka sebuah kunjungan ke Solo tahun 1993 berujung pada berdirinya salah satu pusat keilmuan Islam tradisional dunia. Ketika 40 pemuda tersebut kembali ke Indonesia, mereka langsung menempati posisi-posisi bergengsi dalam gerakan dakwah dan ilmu. Kebanyakan dari mereka adalah anak habaib atau kyai berpengaruh. Saat mereka kembali, mereka menjadi pemimpin di institusi masing-masing. Sebagian lagi ada yang diambil menantu oleh habaib dan kyai yang berpengaruh. Habib Mundzir adalah kasus yg unik. Beliau bukan anak ulama. Ayahnya jurnalis lulusan New York University. Ia tidak memiliki pesantren dan tidak memiliki tempat bernaung. Beberapa tahun pertama, Habib Alawi al-Aydrus memintanya untuk mengasuh majelis taklim di Cipayung. Tapi sepertinya ada kegelisahan dalam diri Habib Mundzir. Ia seperti tidak memiliki tempat untuk berkiprah. Tempat-tempat prestisius dalam gerakan dan institusi dakwah telah diisi oleh anggota keluarga masing-masing. Seorang habib tanpa trah keulamaan yang kuat seperti dirinya seakan disisihkan oleh mereka yang telah memiliki tempat yang kokoh. Realitas demikian banyak terjadi di Indonesia. Seorang cerdas kembali ke tanah air dan tak mendapatkan tempat. Namun justru realita dakwah yang demikian, dengan mafia-mafia dakwahnya, membentuk figur Habib Mundzir yang siap mendobrak tatanan dakwah di Jakarta. Saya ingat beliau cerita di kantornya di Tebet: “Dakwah adalah kewajiban kita semua, bukan hanya untuk anak kyai dan habib kondang.” Akhirnya Habib Mundzir meninggalkan Cipayung dan mulai mengajar dari rumah ke rumah di kawasan Pasar Minggu dan Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau membangun majelis kecil-kecilan tanpa tempat. Berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan akhirnya sebuah masjid di Pancoran membuka pintunya untuk majelis Habib Mundzir. Maka terbentuklah Majelis Rasulullah. Sesuatu yang dikerjakan secara serius dan telaten, akhirnya membuahkan hasil. Lambat laun jamaah beliau tambah banyak. Habib Mundzir mencoba membuka pintu dakwah agar pelbagai kalangan dapat ikut masuk, khususnya kaum pemuda ibukota. Dalam berdakwah beliau mencoba mencari jalan tengah dan persamaan, ketimbang membangun kebencian dan permusuhan. Sampai-sampai, beliau lebih suka menggunakan kitab Shahih Bukhari dalam pengajiannya, karena kitab tersebut diterima oleh semua kalangan. Beliau menyuguhkan jangkar pada pemuda ibukota yang terombang-ambing di tengah derasnya arus perubahan ibukota. Melalui solidaritas yang dipupuk dalam majelis-majelis beliau, pemuda ibukota yang sebelumnya bingung ke mana melangkah, mendapatkan pemaknaan. Banyak pengikut Habib Mundzir bukan berasal dari background Nahdliyin (NU). Kadang mereka kerap mengkritik beliau. Namun beliau dengan sabar menjawab dan berkaca. Beliau menggunakan media internet untuk berkomunikasi dengan pengikut beliau. Bagi Habib Mundzir sepertinya dakwah harus menjemput bola. Ulama harus proaktif mengikuti perkembangan zaman dan perubahan masa. Beliau bercerita pada saya bagaimana beliau rela mengikuti kritikan sebagian pengikutnya, agar mereka masih mau tetap belajar. Pada figur Habib Mundzir kita menemukan seorang da’i yang siap menuruti kehendak ummatnya, selama itu baik, ketimbang selalu minta diikuti. Pada akhirnya, Habib Mundzir mengajarkan pada kita bahwa dakwah bukanlah milik segelintir individu mapan. Dakwah adalah proyek bersama. Kita semua harus berdakwah, bukan hanya anak-anak para ulama dan pembesar agama. Anak-anak muda yang tidak dari kalangan pesantren juga turut serta. Anak muda ibukota, kaya-miskin, terdidik-tidak terdidik, semua dapat ikut serta menjaga panji Rasul Saw. Habib Mundzir mengajarkan pada kita bahwa mengikuti Sang Kekasih Saw. tidak berarti kita harus bersikap keras dan intoleran. Justru dengan lemah lembut, santun dan dengan budi pekerti yang baik, kita akan dapat menjadi duta duta Sang Kekasih Saw. untuk ummat manusia. Saya ingat ketika ribut-ribut masalah Ahmadiyah, Habib Mundzir meminta pengikutnya untuk tidak ikut-ikutan demo dan huru hara anti-Ahmadiyyah. Bagi beliau, cara menghadapi Ahmadiyah yang paling baik adalah memperkuat aqidah dan amaliyah Aswaja, bukan dengan cara-cara reaksioner. Tumbuhkan rasa cinta ummat kepada Sang Kekasih Saw., maka semuanya akan terbangun dan tertata rapi. Begitu sepertinya formula Habib Mundzir. Memutuskan tali cinta ummat kepada Sang Kekasih akan menghancurkan ummat. Akhirnya, semoga Tuhan meliputi hati kita dengan cinta kepada Sang Kekasih Saw. Semoga Tuhan membalas amal dan kerja keras Habib Mundzir dengan sebaik-baik balasan. Dan semoga kelak kita semua dikumpulkan dengan Sang Kekasih. Demikianlah sedikit kenangan saya tentang Habib Mundzir. Sekali lagi saya turut berduka cita kepada seluruh umat Islam atas musibah ini. Saya tidak hanya kehilangan seorang kawan dan saudara. Saya kehilangan seorang sosok yang saya kagumi. Demikianlah yang bisa saya sampaikan tentang sosok Habib Mundzir. Kurang lebihnya mohon maaf. (Habib Ismail Fajrie Alattas (sang penulis) adalah seorang habib muda yang menekuni tasawuf, filsafat, sastra dan musik. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di bidang antropologi dan sejarah di University of Michigan, Amerika). KENANGAN KISAH HIDUP GURU KAMI, ALHABIB MUNDZIR AL MUSAWWA Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Kisah ini saya baca saat saya tidak sengaja membuka akun facebook milik salah seorang teman. Aktor utama dari kisah luar biasa ini, adalah beliau ALHABIB MUNDZIR AL MUSAWWA. Berikut adalah kisah nya .. “Al Habib Mundzir Al Musawwa : Saudara ku yang kumuliakan, saya adalah anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anak nya yang lain, namun dimasa baligh, justru saya putus sekolah, sedangkan semua kakak saya wisuda, ayah bunda saya bangga pada mereka, dan kecewa pada saya. karena saya malas sekolah saya lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud Alattas, dan majelis ta’lim kamis sore di Bogor. masa itu yang mengajar adalah Almarhum Al Allamah Alhabib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dengan kajian Fathul Baari. Sisa hari saya adalah bershalawat 1000 siang 1000 malam,, zikir beribu kali, dan puasa Nabi Daud AS, dan shalat malam berjam jam. saya pengangguran. saya membuat ayah bunda saya malu. ayah saya 10 tahun belajar dan tinggal di Makkah, guru beliau adalah Almarhum Alhabib Alwi Al Malikiy, ayah dari Almarhum Al Allamah Assayid Muhammad bin Alwi Al MAlikiy, ayah saya juga sekolahdi Amerika Serikat dan mengambil gelar sarjana di Nwe York University. Almarhum ayah sangat malu, beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. beliau berkata pada saya : ” kau ini mau jadi apa ? jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri. jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai ke luar negeri. namun saran ku tuntutlah ilmu agama. aku sudah mendalami keduanya. dan aku tidak menemukan keberuntungan apa apa dari kebanggaan orang yang menyanjung negeri barat. walau aku adalah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dengan kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menhindari itu. maka ayahanda almarhum hidup dalam kesederhanaan di Cipanas. beliau lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak anaknya, mengajari anak anak nya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah. namun boleh dikata, saya mengecewakan ayah bunda karena : DUNIA TIDAK AKHIRAT PUN TIDAK. akhirnya, karena ayah saya pensiun, maka ibunda membangun sebuah losmen kecil di depan rumah. losmen ini hanya berupa 5 kamar saja. disewakan untuk orang baik, untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya. setiap malam saya jarang tidur. duduk termenung di kursi penerimaan tamu yang hanya berupa meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, berdzikir, menangis, dan shalat malam. demikian lah malam malam yang saya lewati. siang hari saya puasa nabi Daud AS dan terus dilanda sakit asma yang parah. maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa. berkatalah ibu saya : kalau kata orang, jika banyak anak, pasti ada satu yang gagal. ibu tak mau percaya pada ucapan itu. tapi apakah ucapan itu merupakan kebenaran ? ” “saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu. sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok, maka saya pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit duri jakarta selatan, namun hanya dua bulan saja, saya tidak betah dan sakit sakitan karena asma terus kambuh, maka saya pulang. ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya prifat saja kursus bahasa arab di kursus bahasa arab assalafi, pimpinan Almarhum Hb Bagir Alattas, ayahanda dari hb Hud alattas yg kini sering hadir di majelis kita di almunawar. saya harus pulang pergi jakarta cipanas yg saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dg ongkos sendiri, demikian setiap dua kali seminggu, ongkos itu ya dari losmen tsb. saya selalu hadir maulid di almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud alattas yg saat itu di cipayung, jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan hujanan pula. sering saya datang ke maulid beliau malam jumat dalam keadaan basah kuyup, dan saya diusir oleh pembantu dirumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yg kotor dan basah menginjaknya, saya terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu tamu berdatangan, maka saya duduk dil;uar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga. saya sering pula ziarah ke luar batang, makam Al Habib husein bin Abubakar Alaydrus, suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang langsung dari cipanas, maka saya berkata dalam hati, wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang.., maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yg termurah saat itu di emperan penjual peci, saya membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca yaasin utk dihadiahkan pada almarhum, saya menangisi kehidupan saya yg penuh ketidak tentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh, mereka berkata : kakak2mu semua sukses, ayahmu lulusan makkah dan pula new york university, koq anaknya centeng losmen.. maka saya mulai menghindari kerabat, saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh. walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati, wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yg shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.., lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman teman saya yg pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf dg satu mobil, mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan, saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah.. lalu saya ditanya dg siapa dan mau kemana, saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di pasar sawo, kb Nanas Jaksel, mereka berkata : ayo bareng saja, kita antar sampai kebon nanas, maka sayapun semakin bersyukur pada Allah, karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke cipanas, saya sampai larut malam di kediaman bibi dari Ibu saya, di ps sawo kebon nanas, lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke cipanas.. tak lama saya berdoa, wahai Allah, pertemukan saya dg guru dari orang yg paling dicintai Rasul saw, maka tak lama saya masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur, dan setiap saat mahal qiyam maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul saw, dan dipertemukan dg guru yg paling dicintai Rasul saw, dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pd 1994. selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dg tajam.., saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu.., lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil Hb Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau, Guru saya hb Nagib bin syeikh abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin beliau salah pilih..?, maka guru mulia menunjuk saya, itu.. anak muda yg pakai peci hijau itu..!, itu yg saya inginkan.., maka Guru saya hb Nagib memanggil saya utk jumpa beliau, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yg pintunya masih terbuka : siapa namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru saya hb Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum.. keesokan harinya saya jumpa lagi dg guru mulia di kediaman Almarhum Hb bagir Alattas, saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid guru mulia, maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum hb umar maula khela : itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yg pakai peci hijau itu..!, guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya hb Nagib bin syekh abubakar, seraya berkata : wahai munzir, kau harus siap siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.. dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar maula khela ke pesantren, dan menanyakan saya, alm hb umar maulakhela berkata pada hb nagib : mana itu munzir anaknya hb Fuad almusawa?, dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya, maka hb nagib berkata saya belum siap, namun alm hb umar maulakhela dg tegas menjawab : saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini pernintaan AL Habib Umar bin Hafidh, ia harus berangkat dlm dua minggu ini bersama rombongan pertama.. saya persiapkan pasport dll, namun ayah saya keberatan, ia berkata : kau sakit sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke hadramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit?, siapa yg menjaminmu..?, saya pun datang mengadu pd Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin hud Alattas, beliau sudah sangat sepuh, dan beliau berkata : katakan pada ayahmu, saya yg menjaminmu, berangkatlah.. saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat, saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya, saya kecewa namun saya dg berat tetap melangkah ke mobil travel yg akan saya naiki, namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana ayah saya berdiri dipagar rumah dg tangis melihat keberangkatan saya…, beliau melambaikan tangan tanda ridho, rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dg saya, saya berangkat dg airmata sedih.. saya sampai di tarim hadramaut yaman dikediaman guru mulia, beliau mengabsen nama kami, ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang saya dan tersenyum indah, tak lama kemudian terjadi perang yaman utara dan yaman selatan, kami di yaman selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, kamipun harus berjalan kaki kemana mana menempuh jalan 3-4km untuk taklim karena biasanya dg mobil mobil milik guru mulia namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim suatu hari saya dilirik oleh guru mulia dan berkata : Namamu Munzir.. (munzir = pemberi peringatan), saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak…!. maka saya tercenung.., dan terngiang ngiang ucapan beliau : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak…?, saya akan punya jamaah?, saya miskin begini bahkan untuk mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci.. saya mau mencucikan baju teman saya dg upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik : cucianmu tidak bersih…!, orang lain saja yg mencuci baju ini.. maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yg mengalir itulah yg saya pakai mencuci baju saya hari demi hari guru mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada guru mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau. 2 tahun di yaman ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata : kapan kau pulang wahai anakku..?, aku rindu..? saya jawab : dua tahun lagi insya Allah ayah.. ayah menjawab dg sedih ditelepon.. duh.. masih lama sekali.., telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat.. saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dg beliau.. dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan airmata.., duhai,, kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau,., rahimahullah. Tak lama saya kembali ke indonesia, tepatnya pada 1998, mulai dakwah sendiri di cipanas, namun kurang berkembang, maka say mulai dakwah di jakarta, saya tinggal dan menginap berpindah pindah dari rumah kerumah murid sekaligus teman saya, majelis malam selasa saat itu masih berpindah pindah dari rumah kerumah, mereka murid2 yg lebih tua dari saya, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam, maka walau saya sudah duduk untuk mengajar, mereka belum datang, saya menanti, setibanya mereka yg cuma belasan saja, mereka berkata : nyantai dulu ya bib, ngerokok dulu ya, ngopi dulu ya, saya terpaksa menanti sampai mereka puas, baru mulai maulid dhiya’ullami.., jamaah makin banyak, mulai tak cukup dirumah rumah, maka pindah pindah dari musholla ke musholla,. jamaah makin banyak, maka tak cukup pula musholla, mulai berpindah pindah dari masjid ke masjid, lalu saya membuka majelis dihari lainnya, dan malam selasa mulai ditetapkan di masjid almunawar, saat itu baru seperempat masjid saja, saya berkata : jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah.. jamaah mengaminkan.. mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan dlsb, maka majelis belum diberi nama, dan saya merasa majelis dan dakwah tak butuh nama, mereka sarankan majelis hb munzir saja, saya menolak, ya sudah, majelis rasulullah saw saja, kini jamaah Majelis Rasulullah sudah jutaan, di Jabodetabek, jawa barat, banten, jawa tengah, jawa timur, bali, mataram, kalimantan, sulawesi, papua, singapura, malaysia, bahkan sampai ke Jepang, dan salah satunya kemarin hadir di majelis haul badr kita di monas, yaitu Profesor dari Jepang yg menjadi dosen disana, dia datang ke Indonesia dan mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa dg saya.. *** itulah tadi, kelengkapan kisah inspiratif beliau Alhabib Mundzir Al Musawwa. semoga cerita ini bisa memberikan inspirasi pada siapaun yang berkenan membacanya … Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci . video yang sangat menyentuh hati lihat di sini

Tinggalkan komentar