AYAT TASYBIH

Mengenai  ayat  mutasyabih  yang  sebenarnya  para  Imam  dan  Muhadditsin  selalu berusaha  menghindari  untuk  membahasnya,  namun  justru  sangat  digandrungi  oleh sebagian  kelompok  muslimin  sesat  masa  kini,  mereka  selalu  mencoba  menusuk kepada  jantung  tauhid  yang  sedikit  saja  salah  memahami  maka  akan  terjatuh  dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah  dll  yang  hanya  membuat  kerancuan  dalam  kesucian  Tauhid  ilahi  pada  benak muslimin,  akan  tetapi karena  semaraknya  masalah  ini  diangkat  ke  permukaan,  maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.

Sebagaimana  makna  Istiwa,  yang  sebagian  kaum  muslimin  sesat  sangat  gemar membahasnya  dan  mengatakan  bahwa  Allah  itu  bersemayam  di  Arsy,  dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT”  ,  entah  darimana  pula  mereka  menemukan  makna  kalimat  Istawa  adalah semayam,  padahal  tak  mungkin  kita  katakan  bahwa  Allah  itu  bersemayam  disuatu tempat,  karena  bertentangan  dengan  ayat  ayat  dan  Nash  hadits  lain,  bila  kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy  disebutkan  Allah  swt  turun  kelangit  yang  terendah  saat  sepertiga  malam terakhir,  sebagaimana  diriwayatkan  dalam  Shahih  Muslim  hadits  no.758,  sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,  Maka  bila  disuatu  tempat  adalah  tengah  malam,  maka  waktu  tengah  malam  itu  tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan  mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah  pemahaman  ini,  dan  menunjukkan  rapuhnya  pemahaman  mereka,  jelaslah bahwa  hujjah  yang  mengatakan  Allah  ada  di  Arsy  telah  bertentangan  dengan  hadits qudsiy  diatas,  yang  berarti  Allah  itu  tetap  di  langit  yang  terendah  dan  tak  pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah. Baca lebih lanjut

PERINGATAN MAULID NABI SAW

Ketika  kita  membaca  kalimat  diatas  maka  didalam  hati  kita  sudah  tersirat  bahwa kalimat  ini  akan  langsung  membuat  alergi  bagi  sebagian  kelompok  muslimin,  saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).

Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan,  kemenangan,  kekayaan  atau  lainnya,  mereka  merayakannya  dengan pesta,  mabuk  mabukan,  berjoget  bersama,  wayang,  lenong  atau  bentuk  pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.

Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya, Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33) Firman  Allah  :  “Salam  Sejahtera  dari  kami  (untuk  Yahya  as)  dihari  kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15) Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)

Berkata  Utsman  bin  Abil  Ash  Asstaqafiy  dari  ibunya  yang  menjadi  pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu  utsman)  melihat  bintang  bintang  mendekat  hingga  ia  takut  berjatuhan  diatas kepalanya,  lalu  ia  melihat  cahaya  terang  benderang  keluar  dari  Bunda  Nabi  saw hingga  membuat  terang  benderangnya  kamar  dan  rumah  (Fathul  Bari  Almasyhur juz 6 hal 583)

Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)

Riwayat  shahih  oleh  Ibn  Hibban  dan  Hakim  bahwa  Ibunda  Nabi  saw  saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah  jendela  besar  di  Istana  Kisra,  dan  Padamnya  Api  di  Kekaisaran  Persia  yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul  menandakan  kelahiran  Nabi  saw,  dan  Allah  swt  telah  merayakan  kelahiran Muhammad  Rasulullah  saw  di  Alam  ini,  sebagaimana  Dia  swt  telah  pula  membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw  Ketika  beliau  saw  ditanya  mengenai  puasa  di  hari  senin,  beliau  saw  menjawab  :  “Itu adalah  hari  kelahiranku,  dan  hari  aku  dibangkitkan”  (Shahih  Muslim  hadits  no.1162).

dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa. Rasul  saw  jelas  jelas  memberi  pemahaman  bahwa  hari  senin  itu  berbeda  dihadapan beliau  saw  daripada  hari  lainnya,  dan  hari  senin  itu  adalah  hari  kelahiran  beliau  saw. Karena  beliau  saw  tak  menjawab misalnya  :  “oh puasa hari  senin itu mulia dan  boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya.

Contoh  mudah  misalnya  zeyd  bertanya  pada  amir  :  “bagaimana  kalau  kita  berangkat umroh  pada  1  Januari?”,  maka  amir  menjawab  :  “oh  itu  hari  kelahiran  saya”.  Nah.. bukankah  jelas  jelas  bahwa  zeyd  memahami  bahwa  1  januari  adalah  hari  yang berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan  puasa  hari  senin  untuk  merayakan  kelahirannya,  pertanyaan  sahabat ini  berbeda  maksud  dengan  jawaban  beliau  saw  yang  lebih  luas  dari  sekedar pertanyaannya,  sebagaimana  contoh  diatas,  Amir  tak  mmerintahkan  umroh  pada  1 januari  karena  itu  adalah  hari  kelahirannya,  maka  mereka  yang  berpendapat  bahwa boleh  merayakan  maulid  hanya  dengan  puasa  saja  maka  tentunya  dari  dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang  itu  bertanya  tentang  puasa  senin,  maksudnya  boleh  atau  tidak?,  Rasul  saw menjawab  :  hari  itu  hari  kelahiranku,  menunjukkan  hari  kelahiran  beliau  saw  ada  nilai tambah  pada  pribadi  beliau  saw,  sekaligus  diperbolehkannya  puasa  dihari  itu.  Maka jelaslah  sudah  bahwa  Nabi  saw  termasuk  yang  perhatian  pada  hari  kelahiran  beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw

Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu  wahai Rasulullah..” maka Rasul  saw  menjawab:  “silahkan..,maka  Allah  akan  membuat  bibirmu  terjaga”,  maka Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw)  saat  hari  kelahiranmu  maka  terbitlah  cahaya  dibumi  hingga  terang  benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam  tuntunan  kemuliaan  (Al  Qur’an)  kami  terus  mendalaminya”  (Mustadrak  ‘ala shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi saw Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas  bertanya  padanya  :  “bagaimana  keadaanmu?”,  abu  lahab  menjawab  :  “di neraka,  Cuma  diringankan  siksaku  setiap  senin  karena  aku  membebaskan  budakku Tsuwaibah  karena  gembiraku  atas  kelahiran  Rasul  saw”  (Shahih  Bukhari  hadits no.4813,  Sunan  Imam  Baihaqi  Alkubra  hadits  no.13701,  syi’bul  iman  no.281,  fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun  tentunya  Allah  berhak  menambah  siksanya  atau  menguranginya  menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi  dapat  dijadikan  hujjah  sebagai  manakib,  sejarah  dan  lainnya,  misalnya  mimpi orang  kafir  atas  kebangkitan  Nabi  saw,  maka  tentunya  hal  itu  dijadikan  hujjah  atas kebangkitan  Nabi  saw  maka  Imam  imam  diatas  yang  meriwayatkan  hal  itu  tentunya menjadi  hujjah  bagi  kita  bahwa  hal  itu  benar  adanya,  karena  diakui  oleh  imam  imam dan mereka tak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid Hassan  bin  Tsabit  ra  membaca  syair  di  Masjid  Nabawiy  yang  lalu  ditegur  oleh  Umar  ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan doa  :  wahai  Allah  bantulah  ia  dengan  ruhulqudus?,  maka  Abu  Hurairah  ra  berkata  : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini  menunjukkan  bahwa  pembacaan  Syair  di  masjid  tidak  semuanya  haram, sebagaimana  beberapa  hadits  shahih  yang  menjelaskan  larangan  syair  di  masjid, namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair syair yang membawa pada Ghaflah, pada  keduniawian,  namun  syair  syair  yang  memuji  Allah  dan  Rasul  Nya  maka  hal  itu diperbolehkan  oleh  Rasul  saw  bahkan  dipuji  dan  didoakan  oleh  beliau  saw sebagaimana  riwayat  diatas,  dan  masih  banyak  riwayat  lain  sebagaimana  dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri  untuk  melantunkan  syair  syairnya  (Mustadrak  ala  shahihain  hadits  no.6058, sunan  Attirmidzi  hadits  no.2846)  oleh  Aisyah  ra  bahwa  ketika  ada  beberapa  sahabat yang  mengecam  Hassan  bin  Tsabit  ra  maka  Aisyah  ra  berkata  :  “Jangan  kalian  caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid

1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah : Telah  jelas  dan  kuat  riwayat  yang  sampai  padaku  dari  shahihain  bahwa  Nabi  saw datang  ke  Madinah  dan  bertemu  dengan  Yahudi  yang  berpuasa  hari  asyura  (10 Muharram),  maka  Rasul  saw  bertanya  maka  mereka  berkata  :  “hari  ini  hari ditenggelamkannya  Fir’aun  dan  Allah  menyelamatkan  Musa,  maka  kami  berpuasa sebagai  tanda  syukur  pada  Allah  swt,  maka  bersabda  Rasul  saw  :  “kita  lebih  berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan  dengan  pelbagai  cara,  seperti  sujud  syukur,  puasa,  shadaqah,  membaca Alqur’an,  maka  nikmat  apalagi  yang  melebihi  kebangkitan  Nabi  ini?,  telah  berfirman Allah  swt  “SUNGGUH  ALLAH  TELAH  MEMBERIKAN  ANUGERAH  PADA  ORANG ORANG  MUKMININ  KETIKA  DIBANGKITKANNYA  RASUL  DARI  MEREKA”  (QS  Al Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah : Telah  jelas  padaku  bahwa  telah muncul  riwayat  Baihaqi  bahwa  Rasul  saw  ber  akikah untuk  dirinya  setelah  beliau  saw  menjadi  Nabi  (Ahaditsulmukhtarah  hadis  no.1832 dengan  sanad  shahih  dan  Sunan  Imam  Baihaqi  Alkubra  Juz  9  hal.300),  dan  telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau  saw  yang  kedua  atas  dirinya  adalah  sebagai  tanda  syukur  beliau  saw  kepada Allah  swt  yang  telah  membangkitkan  beliau  saw  sebagai  Rahmatan  lil’aalamiin  dan membawa  Syariah  utk  ummatnya,  maka  sebaiknya  bagi  kita  juga  untuk menunjukkan tasyakkuran  dengan  Maulid  beliau  saw  dengan  mengumpulkan  teman  teman  dan saudara  saudara,  menjamu  dengan  makanan  makanan  dan  yang  serupa  itu  untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah  buku  khusus  mengenai  perayaan  maulid  dengan  nama  :“Husnulmaqshad  fii ‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) : Merupakan  Bid’ah  hasanah  yang  mulia  dizaman  kita  ini  adalah  perbuatan  yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan  rasa  cinta  pada beliau saw,  dan  bersyukur  kepada  Allah  dengan kelahiran Nabi saw.

4.  Pendapat  Imamul  Qurra’  Alhafidh  Syamsuddin  Aljazriy  rahimahullah  dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif  : Telah  diriwayatkan  Abu  Lahab  diperlihatkan  dalam  mimpi  dan  ditanya  apa keadaanmu?,  ia  menjawab  :  “di  neraka,  tapi  aku  mendapat  keringanan  setiap  malam senin,  itu  semua  sebab  aku  membebaskan  budakku  Tsuwaibah  demi  kegembiraanku atas  kelahiran  Nabi  (saw)  dan  karena  Tsuwaibah  menyusuinya  (saw)”  (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi  usiaku,  sungguh  balasan  dari  Tuhan  Yang  Maha  Pemurah  sungguh  sungguh  ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5.  Pendapat  Imam  Al  Hafidh  Syamsuddin  bin  Nashiruddin  Addimasyqiy  dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy  : Serupa  dengan  ucapan  Imamul  Qurra’  Alhafidh  Syamsuddin  Aljuzri,  yaitu  menukil hadits Abu Lahab

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah  Berkata  ”tidak  ilaksanakan maulid  oleh  salaf   hingga  abad  ke  tiga,  tapi  dilaksanakan setelahnya,  dan  tetap  melaksanakannya  umat  islam  di  seluruh  pelosok  dunia  dan bersedekah    pada  malamnya  dengan  berbagai  macam  sedekah  dan  memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah  Dalam  syarahnya  maulid  ibn  hajar  berkata  :  ”ketahuilah    salah  satu  bid’ah  hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah  Dengan  karangan  maulidnya  yang  terkenal  ”al  aruus”  juga  beliau  berkata  tentang pembacaan  maulid,  ”Sesungguhnya  membawa  keselamatan  tahun  itu,  dan  berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah  Dalam  kitabnya  Al  Mawahibulladunniyyah  juz  1  hal  148  cetakan  al  maktab  al  islami berkata:  ”Maka  Allah  akan  menurukan  rahmat  Nya  kpd  orang  yang  menjadikan  hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

10.  Imam  Al  hafidh  Al  Muhaddis  Abulkhattab  Umar  bin  Ali  bin  Muhammad  yang terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi  Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri  Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir  Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”

13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy  Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.

15. Imam assyakhawiy  Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi  Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy  yang terkenal dengan ibn diba’  Dengan maulidnya addiba’i

18. Imam ibn hajar al haitsami  Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam

19. Imam Ibrahim Baajuri  Mengarang  hasiah  atas  maulid  ibn hajar  dengan  nama  tuhfa  al  basyar  ala  maulid  ibn hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari’  Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad

24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy  Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’

25. Imam Ibrahim Assyaibaniy  Dengan maulid al maulid mustofa adnaani

26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy  Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”

27. Syihabuddin Al Halwani Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar

29. Asyeikh Ali Attanthowiy  Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa

30. As syeikh Muhammad Al maghribi Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.

Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana  disampaikan  oleh  kalangan  anti  maulid,  maka  mereka  ternyata  hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah  pada  kehidupan  kita,  hal  ini  lumrah  saja,  sebagaimana  penghormatan  yang dianjurkan  oleh  Rasul  saw  adalah  berdiri,  sebagaimana  diriwayatkan  ketika  sa’ad  bin Mu’adz  ra  datang  maka  Rasul  saw  berkata  kepada  kaum  anshar  :  “Berdirilah  untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.

Memang  mengenai  berdiri  penghormatan  ini  ada  ikhtilaf  ulama,  sebagaimana  yang dijelaskan  bahwa  berkata  Imam  Alkhattabiy  bahwa  berdirinya  bawahan  untuk majikannya,  juga  berdirinya  murid  untuk  kedatangan  gurunya,  dan  berdiri  untuk kedatangan  Imam  yang  adil  dan  yang  semacamnya  merupakan  hal  yang  baik,  dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan  Imam  Nawawi  yang  berpendapat  bila  berdiri  untuk  penghargaan  maka  taka  apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun  adapula  pendapat  lain  yang  melarang  berdiri  untuk  penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal 93)

Namun  dari  semua  pendapat  itu,  tentulah  berdiri  saat  mahal  qiyam  dalam  membaca maulid  itu  tak  ada  hubungan  apa  apa  dengan  semua  perselisihan  itu,  karena  Rasul saw  tidak  dhohir  dalam  pembacaan  maulid  itu,  lepas  dari  anggapan  ruh  Rasul  saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah  perbedaan  pendapat  mengenai  berdiri  penghormatan  yang  Rasul  saw  pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

Jauh  berbeda  bila  kita  yang  berdiri  penghormatan  mengingat  jasa  beliau  saw,  tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut  risalah  Nabi  saw,  dan  penghormatan  kita  kepada  kedatangan  Islam,  dan kerinduan  kita  pada  nabi  saw,  sebagaimana  kita  bersalam  pada  Nabi  saw  setiap  kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar  dan  terkemuka  dizamannya  bahwa  ia  berkumpul  bersama  para  Muhaddits  dan Imam  Imam  besar  dizamannya  dalam  perkumpulan  yang  padanya  dibacakan  puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam  Assubkiy  dan  seluruh  Imam  imam  yang  hadir  bersamanya,  dan  didapatkan kesejukan  yang  luhur  dan  cukuplah  perbuatan  mereka  itu  sebagai  panutan,  dan berkata  Imam  Ibn  Hajar  Alhaitsamiy  rahimahullah  bahwa  Bid’ah  hasanah  sudah menjadi  kesepakatan  para  imam  bahwa  itu  merupakan  hal  yang  sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila  dilakukan  mendapat  pahala  dan  bila  ditinggalkan  tidak  mendapat  dosa,  dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,

Dan  berkata  pula  Imam  Assakhawiy  rahimahullah  bahwa  mulai  abad  ketiga  hijriyah mulailah  hal  ini  dirayakan  dengan  banyak  sedekah  dan  perayaan  agung  ini  diseluruh dunia  dan  membawa  keberkahan  bagi  mereka  yang  mengadakannya.  (Sirah  Al Halabiyah Juz 1 hal 137)

Pada  hakekatnya,  perayaan  maulid  ini  bertujuan  mengumpulkan  muslimin  untuk Medan  Tablig  dan  bersilaturahmi  sekaligus  mendengarkan  ceramah  islami  yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw  yang  sudah  diperbolehkan  oleh  Rasul  saw,  dan  untuk  mengembalikan  kecintaan mereka  pada  Rasul  saw,  maka  semua  maksud  ini  tujuannya  adalah  kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada  yang  mengingkarinya  karena  jelas  jelas  merupakan  salah  satu  cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin  aqlan  wa  syar’an  (secara  logika  dan  hukum  syariah),  karena  hal  ini merupakan  hal  yang  mustahab  (yang  dicintai),  sebagaiman  kaidah  syariah  bahwa “Maa  Yatimmul  waajib  illa  bihi  fahuwa  wajib”,  semua  yang  menjadi  penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.

Contohnya  saja  bila  sebagaimana  kita  ketahui  bahwa  menutup  aurat  dalam  shalat hukumnya  wajib,  dan  membeli  baju  hukumnya  mubah,  namun  suatu  waktu  saat  kita akan  melakukan  shalat  kebetulan  kita  tak  punya  baju  penutup  aurat  kecuali  harus membeli  dulu,  maka  membeli  baju  hukumnya  berubah  menjadi  wajib,  karena  perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib .

Contoh  lain  misalnya  sunnah  menggunakan  siwak,  dan  membuat  kantong  baju hukumnya  mubah  saja,  lalu  saat  akan  bepergian  kita  akan membawa  siwak  dan  baju kita  tak  berkantong,  maka  perlulah  bagi  kita  membuat  kantong  baju  untuk  menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah.

Maka  perayaan  Maulid  Nabi  saw  diadakan  untuk  Medan  Tablig  dan  Dakwah,  dan dakwah  merupakan  hal  yang  wajib  pada  suatu  kaum  bila  dalam  kemungkaran,  dan ummat sudah tak perduli dengan Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi  saw  dan  rindu  pada  sunnah  beliau  saw,  dan  untuk  mencapai  tablig  ini  adalah dengan  perayaan  Maulid  Nabi  saw,  maka  perayaan  maulid  ini  menjadi  wajib,  karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.

Sebagaimana  penulisan  Alqur’an  yang  merupakan  hal  yang  tak  perlu  dizaman  nabi saw,  namun  menjadi  sunnah  hukumnya  di  masa  para  sahabat  karena  sahabat  mulai banyak yang membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.

Hal  semacam  in  telah  difahami  dan  dijelaskan  oleh  para  khulafa’urrasyidin,  sahabat radhiyallahu’anhum,  Imam  dan  Muhadditsin,  para  ulama,  fuqaha  dan  bahkan  orang muslimin  yang  awam,  namun  hanya  sebagian  saudara  saudara  kita  muslimin  yang masih  bersikeras  untuk  menentangnya,  semoga  Allah  memberi  mereka  keluasan  hati dan kejernihan, amiin. Walillahittaufiq

 

HADITS DHO’IF

Hadits  Dhoif  adalah  hadits  yang  lemah  hukum  sanad  periwayatnya  atau  pada  hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin,  Hadits  dhoif  tak  dapat  dijadikan  Hujjah  atau  dalil  dalam  suatu  hukum,  namun  tak sepantasnya  kita  menafikan  (meniadakan)  hadits  dhoif,  karena  hadits  dhoif  banyak pembagiannya,  Dan  telah  sepakat  jumhur  para  ulama  untuk  menerapkan  beberapa  hukum  dengan berlandaskan  dengan  hadits  dhoif,  sebagaimana  Imam  Ahmad  bin  Hanbal rahimahullah,  menjadikan  hukum  bahwa  bersentuhan  kulit  antara  pria  dan  wanita dewasa  tidak  membatalkan  wudhu,  dengan  berdalil  pada  hadits  Aisyah  ra  bersama Rasul  saw  yang  Rasul  saw  menyentuhnya  dan  lalu  meneruskan  shalat  tanpa berwudhu,  hadits  ini  dhoif,  namun  Imam  Ahmad  memakainya  sebagai  ketentuan hukum thaharah.

Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81  bagian,  adapula  yang  menjadikannya  49  bagian  dan  adapula  yang  memecahnya dalam  42  bagian,  namun  para  Imam  telah  menjelaskan  kebolehan  beramal  dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad,  namun  tentunya  bukanlah  hadits  dhoif  yang  telah  digolongkan  kepada hadits palsu.

Sebagian  besar  hadits  dhoif  adalah  hadits  yang  lemah  sanad  perawinya  atau  pada matannya,  tetapi  bukan  berarti  secara  keseluruhan  adalah  palsu,  karena  hadits  palsu dinamai  hadits  munkar,  atau  mardud,  Batil,  maka  tidak  sepantasnya  kita menggolongkan  semua  hadits  dhaif  adalah  hadits  palsu,  dan  menafikan (menghilangkan)  hadits  dhaif  karena  sebagian  hadits  dhaif  masih  diakui  sebagai ucapan  Rasul  saw,  dan  tak  satu  muhaddits  pun  yang  berani  menafikan keseluruhannya,  karena  menuduh  seluruh  hadist  dhoif  sebagai  hadits  yang  palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.

Rasulullah  SAW  bersabda  :  “Barangsiapa  yang  sengaja  berdusta  dengan  ucapanku maka  hendaknya  ia  bersiap  siap  mengambil  tempatnya  di  neraka”  (Shahih  Bukhari hadits no.110),  Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang,  barangsiapa  yang  sengaja  berdusta  atas  namaku  maka  ia  bersiap  siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits no.1229),

Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti  mereka  melarang  sebagian  ucapan  /  sunnah  Rasul  saw,  dan  mendustakan ucapan Rasul saw.

Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid’ah hasanah, baru ada sejak Tabi’in, mereka membuat  syarat  perawi  hadits,  mereka  membuat  kategori  periwayat  yang  hilang  dan tak  dikenal,  namun  mereka  sangat  berhati  hati  karena  mereka  mengerti  hukum,  bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.

Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku  ngaku  sebagai  pakar  hadits,  seorang  ahli  hadits  mestilah  telah  mencapai derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?. Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut:  Hakim,  yaitu  yang  pakar  hadits  yang  sudah  melewati  derajat  Ahafidh  dan  Alhujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah  Luqathuddurar  Bisyarh  Nukhbatulfikar  oleh  Imam  Al  Hafidh  Ibn  Hajar  Al Atsqalaniy).

Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1  juta  hadits  dengan  sanad  dan  matannya,  dan  Ia  adalah  murid  dari  Imam  Syafii rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits.

Perlu  diketahui  bahwa  Imam  Syafii  ini  lahir  jauh  sebelum  Imam  Bukhari,  Imam  Syafii lahir  pada  th  150  Hijriyah  dan  wafat  pada  th  204  Hijriyah,  sedangkan  Imam  Bukhari lahir  pada  th  194  Hijriyah  dan  wafat  pada  256  Hijriyah,  maka  sebagaimana  sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah  menjadi  Imam  sebelum  usianya  mencapai  40  tahun,  maka  ia  telah  menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.

Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat  kepada  hadits  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  para  Imam  ini?,  mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya,  seorang  periwayat  mengatakan  hadits  ini  dhoif,  maka  muncul  mereka  ini  memberi fatwa  bahwa  hadits  itu  munkar,  darimanakah  ilmu  mereka?,  apa  yang  mereka fahami dari  ilmu  hadits?,  hanya  menukil  nukil  dari  beberapa  buku  saja  lalu  mereka  sudah berani  berfatwa,  apalagi  bila  mereka  yang  hanya  menukil  dari  buku  buku  terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.

Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku  tak  bisa  dijadikan  rujukan  untuk  mengalahkan  fatwa  para  Imam  terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada  zaman  sekarang  ini  adalah  pedoman  paling  lemah  dibandingkan  dengan  fatwa fatwa  Imam  Imam  terdahulu,  terlebih  lagi  apabila  yang  dijadikan  rujukan  untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan.

Sungguh  buku  buku  terjemahan  itu  telah  terperangkap  dengan  pemahaman  si penerjemah,  maka  bila  kita  bicara  misalnya  terjemahan  Musnad  Imam  Ahmad  bin Hanbal,  sedangkan  Imam  Ahmad  bin  Hanbal  ini  hafal  1  juta  hadits,  lalu  berapa  luas pemahaman  si  penerjemah  yang  ingin  menerjemahkan  keluasan  ilmu  Imam  Ahmad dalam terjemahannya?

Bagaimana  tidak,  sungguh  sudah  sangat  banyak  hadits  hadits  yang  sirna  masa  kini, bila  kita  melihat  satu  contoh  kecil  saja,  bahwa  Imam  Ahmad  bin  Hanbal  hafal  1  juta hadits,  lalu  kemana  hadits  hadits  itu?,  Imam  Ahmad  bin  Hanbal  dalam  Musnad haditsnya  hanya  tertuliskan  hingga  hadits  no.27.688,  maka  kira  kira  970  ribu  hadits yang  dihafalnya  itu  tak  sempat  ditulis…!  Lalu  bagaimana  dengan  ratusan  Imam  dan Huffadh  lainnya?,  lalu  logika  kita,  berapa  juta  hadits  yang  sirna  dan  tak  sempat tertuliskan?, mengapa? Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja  seorang  Imam  besar  yang  menghadapi  ribuan  murid2nya,  menghadapi  ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu  menulis  hadits  dengan  pena  bulu  ayam  dengan  tinta  cair  ditengah  redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.

Bayangkan  betapa  sulitnya  perluasan  ilmu  saat  itu,  mereka  tak  ada  surat  kabar,  tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan. Penyebaran  ilmu  dimasa  itu  adalah  dengan  ucapan  dari  guru  kepada  muridnya (talaqqiy),  dan  saat  itu  buku  hanyalah  1%  saja  atau  kurang  dibanding  ilmu  yang  ada pada mereka.

Lalu  murid  mereka  mungkin  tak  mampu  menghafal  hadits  seperti  gurunya,  namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari  kejahatan  syariah,  karena  di  masa  itu  seorang  yang  menyeleweng  dari  syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.

Oleh  sebab  itu  sanad  guru  jauh  lebih  kuat  daripada  pedoman  buku,  karena  guru  itu berjumpa  dengan  gurunya,  melihat  gurunya,  menyaksikan  ibadahnya,  sebagaimana ibadah  yang  tertulis  di  buku,  mereka  tak  hanya  membaca,  tapi  melihat  langsung  dari gurunya,  maka  selayaknya  kita  tidak  berguru  kepada  sembarang  guru,  kita  mesti selektif  dalam  mencari  guru,  karena  bila  gurumu  salah  maka  ibadahmu  salah  pula.

Maka  hendaknya  kita  memilih  guru  yang  mempunyai  sanad  silsilah  guru,  yaitu  ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw. Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku  buku,  walaupun  kita  masih  merujuk  pada  buku  dan  kitab,  namun  kita  tak berpedoman  penuh  pada  buku  semata,  kita  berpedoman  kepada  guru  guru  yang bersambung  sanadnya  kepada  Nabi  saw,  ataupun  kita  berpegang  pada  buku  yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.

Maka  bila  misalnya  kita  menemukan  ucapan  Imam  Syafii,  dan  Imam  Syafii  tak sebutkan  dalilnya,  apakah  kita  mendustakannya?,  cukuplah  sosok  Imam  Syafii  yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai  dalil  atas  jawabannya  bahwa  ia  mustahil  mengada  ada  dan  membuat  buat hukum semaunya.

Maka  muncullah  dimasa  kini  pendapat  pendapat  dari  beberapa  saudara  kita  yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa  dengan  semaunya  dan  fatwa  fatwa  mereka  itu  tak  ada  para  Imam  dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya.

Sebagaimana  berkata  Imam  Syafii  :  “Orang  yang  belajar  ilmu  tanpa  sanad  guru bagaikan  orang  yang  mengumpulkan  kayu  baker  digelapnya  malam,  ia  membawa pengikat  kayu  bakar  yang  terdapat  padanya  ular  berbisa  dan  ia  tak  tahu”  (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)

Semakin  dangkal  ilmu  seseorang,  maka  tentunya  ia  semakin  mudah  berfatwa  dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.

Maka  fahamlah  kita,  bahwa  mereka  mereka  yang  segera  menafikan  /  menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana  hadits  dhoif  yang  palsu  dan  mana  hadits  dhoif  yang  masih  tsiqah  untuk diamalkan,  contohnya  hadits  dhoif  yang  periwayatnya  maqthu’  (terputus),  maka dihukumi  dhoif,  tapi  makna  haditsnya  misalnya  keutamaan  suatu  amal,  maka  para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya, Masya  Allah  dari  gelapnya  kebodohan..  sebagaimana  ucapan  para  ulama  salaf  : “dalam  kebodohan  itu  adalah  kematian  sebelum  kematian,  dan  tubuh  mereka  telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. Walillahittaufiq

 

 

BID’AH

Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah. Nabi  saw  memperbolehkan  kita  melakukan  Bid’ah  hasanah  selama  hal  itu  baik  dan tidak  menentang  syariah,  sebagaimana  sabda  beliau  saw  :“Barangsiapa  membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat  hal  baru  yang  buruk  dalam  islam,  maka  baginya  dosanya  dan  dosa  orang  yang mengikutinya  dan  tak  dikurangkan  sedikitpun  dari  dosanya”  (Shahih  Muslim  hadits no.1017,  demikian  pula  diriwayatkan  pada  Shahih  Ibn  Khuzaimah,  Sunan  Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

Perhatikan  hadits  beliau  saw,  bukankah  beliau  saw  menganjurkan?,  maksudnya  bila kalian  mempunyai  suatu  pendapat  atau  gagasan  baru  yang  membuat  kebaikan  atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama,  merajalela  kemaksiatan,  maka  tentunya  pastilah  diperlukan  hal  hal  yang  baru demi  menjaga  muslimin  lebih  terjaga  dalam  kemuliaan,  demikianlah  bentuk kesempurnaan  agama  ini,  yang  tetap  akan  bisa  dipakai  hingga  akhir  zaman,  inilah makna ayat :  “ALYAUMA  AKMALTU  LAKUM  DIINUKUM…”,  yang  artinya  “hari  ini Kusempurnakan  untuk  kalian  agama  kalian,  kusempurnakan  pula  kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”,

Maksudnya  semua  ajaran  telah  sempurna,  tak  perlu  lagi  ada  pendapat  lain  demi memperbaiki  agama  ini,  semua  hal  yang  baru  selama  itu  baik  sudah  masuk  dalam kategori  syariah  dan  sudah  direstui  oleh  Allah  dan  rasul  Nya,  alangkah  sempurnanya islam,  Bila  yang  dimaksud  adalah  tidak  ada  lagi  penambahan,  maka  pendapat  itu  salah, karena  setelah  ayat  ini  masih  ada  banyak  ayat  ayat  lain  turun,  masalah  hutang  dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu  masih  dimasuki  orang  musyrik  mengikuti  hajinya  orang  muslim,  mulai  kejadian turunnya  ayat  ini  maka  Musyrikin  tidak  lagi  masuk  masjidil  haram,  maka  membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.

Namun  tentunya  bukan  membuat  agama  baru  atau  syariat  baru  yang  bertentangan dengan  syariah  dan  sunnah  Rasul  saw,  atau  menghalalkan  apa  apa  yang  sudah diharamkan  oleh  Rasul  saw  atau  sebaliknya,  inilah  makna  hadits  beliau  saw  : “Barangsiapa  yang  membuat  buat  hal baru  yang  berupa  keburukan…dst”,  inilah  yang disebut Bid’ah Dhalalah.

Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau  saw  memperbolehkannya  (hal  yang  baru  berupa  kebaikan),  menganjurkannya dan menyemangati  kita  untuk memperbuatnya,  agar  ummat  tidak tercekik  dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).

 

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja,  maka  tentu  ini  adalah  pendapat  mereka  yang  dangkal  dalam  pemahaman syariah,  karena  hadits  diatas  jelas  jelas  tak  menyebutkan  pembatasan  hanya  untuk sedekah  saja,  terbukti  dengan  perbuatan  bid’ah  hasanah  oleh  para  Sahabat  dan Tabi’in.

Siapakah  yang  pertama  memulai  Bid’ah  hasanah  setelah wafatnya Rasul saw?

Ketika  terjadi  pembunuhan  besar  besaran  atas  para  sahabat  (Ahlul  yamaamah)  yang mereka  itu  para  Huffadh  (yang  hafal)  Alqur’an  dan  Ahli  Alqur’an  di  zaman  Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :  “Sungguh  Umar  (ra)  telah  datang  kepadaku  dan  melaporkan  pembunuhan  atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu  ia  menyarankan  agar  Aku  (Abubakar  Asshiddiq  ra)  mengumpulkan  dan  menulis Alqur’an,  aku  berkata  :  Bagaimana  aku  berbuat  suatu  hal  yang  tidak  diperbuat  oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan  merupakan  kebaikan,  dan  ia  terus  meyakinkanku  sampai  Allah  menjernihkan dadaku  dan  aku  setuju  dan  kini  aku  sependapat  dengan  Umar,  dan  engkau  (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah  mencatat  wahyu,  dan  sekarang  ikutilah  dan  kumpulkanlah  Alqur’an  dan  tulislah Alqur’an..!”

Berkata  Zeyd  :  “Demi  Allah  sungguh  bagiku  diperintah  memindahkan  sebuah  gunung daripada  gunung  gunung  tidak  seberat  perintahmu  padaku  untuk  mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”,    maka  Abubakar  ra  mengatakannya  bahwa  hal  itu  adalah  kebaikan,  hingga iapun  meyakinkanku  sampai  Allah  menjernihkan  dadaku  dan  aku  setuju  dan  kini  aku sependapat  dengan  mereka  berdua  dan  aku  mulai  mengumpulkan  Alqur’an”.  (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

Nah  saudaraku,  bila  kita  perhatikan  konteks  diatas  Abubakar  shiddiq  ra  mengakui dengan  ucapannya  :  “sampai  Allah menjernihkan  dadaku  dan aku setuju  dan  kini aku sependapat  dengan  Umar”,  hatinya  jernih  menerima  hal  yang  baru  (bid’ah  hasanah) yaitu  mengumpulkan  Alqur’an,  karena  sebelumnya  alqur’an  belum  dikumpulkan menjadi  satu  buku,  tapi  terpisah  pisah  di  hafalan  sahabat,  ada  yang  tertulis  di  kulit onta,  di  tembok,  dihafal  dll,  ini  adalah  Bid’ah  hasanah,  justru  mereka  berdualah  yang memulainya.

Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai  semua  bid’ah  adalah  kesesatan,  diriwayatkan  bahwa  Rasul  saw  selepas melakukan  shalat  subuh  beliau  saw  menghadap  kami  dan  menyampaikan  ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata :  “Wahai  Rasulullah..  seakan  akan  ini  adalah  wasiat  untuk  perpisahan…,  maka  beri wasiatlah  kami..”  maka  rasul  saw  bersabda  :  “Kuwasiatkan  kalian  untuk  bertakwa kepada  Allah,  mendengarkan  dan  taatlah  walaupun  kalian  dipimpin  oleh  seorang Budak  afrika,  sungguh  diantara  kalian  yang  berumur  panjang  akan  melihat  sangat banyak  ikhtilaf  perbedaan  pendapat,  maka  berpegang  teguhlah  pada  sunnahku  dan sunnah  khulafa’urrasyidin  yang  mereka  itu  pembawa  petunjuk,  gigitlah  kuat  kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal  yang  baru,  sungguh  semua  yang  Bid;ah  itu  adalah  kesesatan”.  (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah  khulafa’urrasyidin,  dan  sunnah  beliau  saw  telah  memperbolehkan  hal  yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan  menganjurkan,  bahkan  memerintahkan  hal  yang  baru,  yang  tidak  dilakukan oleh  Rasul  saw  yaitu  pembukuan  Alqur’an,  lalu  pula  selesai  penulisannya  dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.

Nah..  sempurnalah  sudah  keempat  makhluk  termulia  di  ummat  ini,  khulafa’urrasyidin melakukan  bid’ah  hasanah,  Abubakar  shiddiq  ra  dimasa  kekhalifahannya memerintahkan  pengumpulan  Alqur’an,  lalu  kemudian  Umar  bin  Khattab  ra  pula dimasa  kekhalifahannya  memerintahkan  tarawih  berjamaah  dan  seraya  berkata  : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906)  lalu pula selesai penulisan Alqur’an  dimasa  Khalifah  Utsman  bin  Affan  ra  hingga  Alqur’an  kini  dikenal  dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.

Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat  Jumat,  tidak  pernah  dilakukan  dimasa  Rasul  saw,  tidak  dimasa  Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

Siapakah  yang  salah  dan  tertuduh?,  siapakah  yang  lebih  mengerti  larangan  Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah? Bid’ah Dhalalah  Jelaslah  sudah  bahwa  mereka  yang  menolak  bid’ah  hasanah  inilah  yang  termasuk pada  golongan  Bid’ah  dhalalah,  dan  Bid’ah  dhalalah  ini  banyak  jenisnya,  seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya  adalah  penolakan  atas  hal  baru  selama  itu  baik  dan  tak melanggar syariah,  karena  hal  ini  sudah  diperbolehkan  oleh  Rasul  saw  dan  dilakukan  oleh Khulafa’urrasyidin,  dan  Rasul  saw  telah  jelas  jelas  memberitahukan  bahwa  akan muncul  banyak  ikhtilaf,  berpeganglah  pada Sunnahku  dan  Sunnah  Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal  inilah  yang  merupakan  Bid’ah  dhalalah,  hal  yang  telah  diperingatkan  oleh  Rasul saw.

Bila  kita  menafikan  (meniadakan)  adanya  Bid’ah  hasanah,  maka  kita  telah  menafikan dan  membid’ahkan  Kitab  Al-Quran  dan  Kitab  Hadits  yang  menjadi  panduan  ajaran pokok  Agama  Islam  karena  kedua  kitab  tersebut  (Al-Quran  dan  Hadits)  tidak  ada perintah  Rasulullah  saw  untuk  membukukannya  dalam  satu  kitab  masing-masing, melainkan  hal  itu  merupakan  ijma/kesepakatan  pendapat  para  Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

Buku  hadits  seperti  Shahih  Bukhari,  shahih  Muslim  dll  inipun  tak  pernah  ada perintah Rasul  saw  untuk  membukukannya,  tak  pula  Khulafa’urrasyidin  memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.

Begitu  pula  Ilmu  Musthalahulhadits,  Nahwu,  sharaf,  dan  lain-lain  sehingga  kita  dapat memahami  kedudukan  derajat  hadits,  ini  semua  adalah  perbuatan  Bid’ah  namun Bid’ah Hasanah. Demikian  pula  ucapan  “Radhiyallahu’anhu”  atas  sahabat,  tidak  pernah  diajarkan  oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka  para  sahabat  itu  diridhoi  Allah,  namun  tak  ada  dalam  Ayat  atau  hadits  Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan  para  Tabi’in  pada  Sahabat,  maka  mereka  menambahinya  dengan  ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula  kini  Al-Quran  yang  di  kasetkan,  di  CD  kan,  Program  Al-Quran  di  handphone,  Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.

Bid’ah  yang  baik  yang  berfaedah  dan  untuk  tujuan  kemaslahatan  muslimin,  karena dengan  adanya  Bid’ah  hasanah  di  atas  maka  semakin  mudah  bagi  kita  untuk mempelajari  Al-Quran,  untuk  selalu  membaca  Al-Quran,  bahkan  untuk  menghafal  Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya. Sekarang  kalau  kita  menarik  mundur  kebelakang  sejarah  Islam,  bila  Al-Quran  tidak dibukukan  oleh  para  Sahabat  ra,  apa  sekiranya  yang  terjadi  pada  perkembangan sejarah Islam ?

Al-Quran  masih  bertebaran  di  tembok-tembok,  di  kulit  onta,  hafalan  para  Sahabat  ra yang  hanya  sebagian  dituliskan,  maka  akan  muncul  beribu-ribu  Versi  Al-Quran  di zaman  sekarang,  karena  semua  orang  akan  mengumpulkan  dan  membukukannya, yang  masing-masing  dengan  riwayatnya  sendiri,  maka  hancurlah  Al-Quran  dan hancurlah  Islam.  Namun  dengan  adanya  Bid’ah  Hasanah,  sekarang  kita  masih mengenal  Al-Quran  secara  utuh  dan  dengan  adanya  Bid’ah  Hasanah  ini  pula  kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah  sudah  sabda  Rasul  saw  yang  telah  membolehkannya,  beliau  saw  telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti  dimunculkan  kelak,  dan  beliau  saw  telah  melarang  hal  hal  baru  yang  berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara  saudaraku,  jernihkan  hatimu  menerima  ini  semua,  ingatlah  ucapan Amirulmukminin  pertama  ini,  ketahuilah  ucapan  ucapannya  adalah  Mutiara  Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.

Lalu  berkata  pula  Zeyd  bin  haritsah  ra  :”..bagaimana  kalian  berdua  (Abubakar  dan Umar)  berbuat  sesuatu  yang  tak  diperbuat  oleh  Rasulullah  saw?,    maka  Abubakar  ra mengatakannya  bahwa  hal  itu  adalah  kebaikan,  hingga  iapun(Abubakar  ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

Maka  kuhimbau  saudara  saudaraku  muslimin  yang  kumuliakan,  hati  yang  jernih menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt, Dan  curigalah  pada  dirimu  bila  kau  temukan  dirimu  mengingkari  hal  ini,  maka barangkali  hatimu  belum  dijernihkan  Allah,  karena  tak  mau  sependapat  dengan mereka,  belum  setuju dengan  pendapat  mereka, masih  menolak  bid’ah hasanah,  dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.

Allah  menjernihkan  sanubariku  dan  sanubari  kalian  hingga  sehati  dan  sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah 1.  Al  Hafidh  Al  Muhaddits  Al  Imam  Muhammad  bin  Idris  Assyafii  rahimahullah (Imam Syafii).

Berkata  Imam  Syafii  bahwa  bid’ah  terbagi  dua,  yaitu  bid’ah  mahmudah  (terpuji)  dan bid’ah madzmumah (tercela),  maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin  Khattab  ra  mengenai  shalat  tarawih  :  “inilah  sebaik  baik  bid’ah”.  (Tafsir  Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

“Menanggapi  ucapan  ini  (ucapan  Imam  Syafii),  maka  kukatakan  (Imam  Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah  hal  yang  baru,  dan  semua  Bid’ah  adalah  dhalalah”  (wa  syarrul  umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum,  sungguh  telah  diperjelas  mengenai  hal  ini  oleh  hadits  lainnya  :  “Barangsiapa membuat  buat  hal  baru  yang  baik  dalam  islam,  maka  baginya  pahalanya  dan  pahala orang  yang  mengikutinya  dan  tak  berkurang  sedikitpun  dari  pahalanya,  dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan  dosa  orang  yang  mengikutinya”  (Shahih  Muslim  hadits  no.1017)  dan  hadits  ini merupakan  inti  penjelasan  mengenai  bid’ah  yang  baik  dan  bid’ah  yang  sesat”.  (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

3.  Al  Muhaddits  Al  Hafidh  Al  Imam  Abu  Zakariya  Yahya  bin  Syaraf  Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam,  maka  baginya  pahalanya  dan  pahala  orang  yang  mengikutinya  dan  tak berkurang  sedikitpun  dari  pahalanya,  dan  barangsiapa  membuat  buat  hal  baru  yang dosanya”,  hadits  ini  merupakan  anjuran  untuk  membuat  kebiasaan  kebiasaan  yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian  dari  sabda  beliau  saw  :  “semua  yang  baru  adalah  Bid’ah,  dan  semua yang  Bid’ah  adalah  sesat”,  sungguh  yang  dimaksudkan  adalah  hal  baru  yang  buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105).

Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang  wajib,  Bid’ah  yang  mandub,  bid’ah  yang  mubah,  bid’ah  yang  makruh  dan  bid’ah yang haram.

Bid’ah  yang  wajib  contohnya  adalah  mencantumkan  dalil  dalil  pada  ucapan  ucapan yang  menentang  kemungkaran,  contoh  bid’ah  yang  mandub  (mendapat  pahala  bila dilakukan  dan  tak  mendapat  dosa  bila  ditinggalkan)  adalah  membuat  buku  buku  ilmu syariah,  membangun  majelis  taklim  dan  pesantren,  dan  Bid;ah  yang  Mubah  adalah bermacam  macam  dari  jenis  makanan,  dan  Bid’ah  makruh  dan  haram  sudah  jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana  ucapan  Umar  ra  atas  jamaah  tarawih  bahwa  inilah  sebaik2  bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

Al  Hafidh  AL  Muhaddits  Al  Imam  Jalaluddin  Abdurrahman  Assuyuthiy rahimahullah Mengenai hadits  “Bid’ah  Dhalalah”  ini  bermakna  “Aammun  makhsush”,  (sesuatu  yang umum  yang  ada  pengecualiannya),  seperti  firman  Allah  :  “…  yang  Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula  ayat  :  “Sungguh  telah  kupastikan  ketentuanku  untuk  memenuhi  jahannam dengan  jin  dan  manusia  keseluruhannya”  QS  Assajdah-13),  dan  pada kenyataannya  bukan  semua  manusia  masuk  neraka,  tapi  ayat  itu  bukan  bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para  Muhaddits  maka  mestilah  kita  berhati  hati  darimanakah  ilmu  mereka?, berdasarkan  apa  pemahaman  mereka?,  atau  seorang  yang  disebut  imam  padahal  ia tak  mencapai  derajat  hafidh  atau  muhaddits?,  atau  hanya  ucapan  orang  yang  tak punya  sanad,  hanya  menukil  menukil  hadits  dan  mentakwilkan  semaunya  tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam? Walillahittaufiq

 

 

KENALILAH AKIDAHMU

KATA PENGANTAR

Limpahan  Cahaya  Keagungan  Nya  semoga  selalu  menghiasi  setiap  nafas  kita  dalam keluhuran dan kesejukan,Limpahan Puji atas Nya, Yang Maha Berhak atas segala pujian, Limpahan Puji atas Nya, Yang Maha Tunggal Mencipta dan Mengawali Kesempurnaan dan Keindahan,  Limpahan Puji atas Nya Yang Maha Tunggal dalam Keluhuran dan keabadian. Shalawat  dan  Salam  terindah  semoga  selalu  tercurah  pada  semulia  mulia  Makhluk Nya,  pemimpin  segenap  Utusan  Nya,  Sayyidina  Muhammad  saw  beserta  keluarga serta sahabat beliau dan penerus hingga akhir zaman, Telah  banyak  permintaan  dari  rekan  rekan  muslimin  yang  masih  mempertanyakan masalah Bid’ah,  Maulid,  Tahlil,  Ziarah  Kubur,  Tabarruk,  Istighatsah  dll,  sungguh  telah keruh  berjuta  sanubari  sebab  kalimat  kalimat  pendek  ini,  terputus  jutaan  hubungan silaturahmi,  dan  terbit  ratusan  buku  dan  tanya  jawab  bahkan  permusuhan  dan perpecahan yang sering berakhir dengan pertumpahan darah. Saudara  saudaraku  yang  kumuliakan,  sungguh  saya  sangat  risau  melihat  keadaan muslimin  yang  terus  semakin  jauh  dari  kebenaran,  padahal  masalah  ini  singkat  dan jelas, tak perlu lagi dipertanyakan dan dipermasalahkan.

Oleh sebab itu dalam buku yang singkat ini saya berusaha memberi pemahaman dan menuliskan sekelumit pembahasan mengenai hal hal itu dengan dalil nash yang tsiqah dan shahih menurut para Imam dan Muhaddits kita. Saya berharap dengan buku ini Allah swt menyatukan pemahaman yang tercerai berai, silaturahmi  yang  terputus,  dan  berpadunya  muslimin  pada  sanad  guru  yang  jelas kepada sang Nabi saw, dengan kebenaran sebagai rujukannya dan jauh dari kejahilan syariah yang kini semakin menjadi, Juga dalam buku ini dicantumkan beberapa artikel website kita, doa doa, sanad dan tanya jawab. Para  pembaca  yang  budiman,  marilah  kita  jelang  kebangkitan  sunnah,  sambutlah kebangkitan  ummat  untuk  beridolakan  Nabi  Muhammad  saw,  sebaik  baik  idola  yang dipilihkan Allah swt bagi kita.

Wabillahittaufiq,

(Munzir Almusawa)